UMIKA.ID, Opini,- Di zaman modern ini, rasanya hidup semakin “dikuasai” pajak. Dari hal sepele hingga kebutuhan pokok, hampir setiap aktivitas kita berpotensi menimbulkan kewajiban membayar pajak. Mau makan di restoran? Bayar pajak. Internetan atau membeli pulsa? Pajak juga. Hiburan seperti menonton bioskop atau streaming film? Bayar pajak. Liburan ke luar kota bahkan luar negeri? Pajak lagi. Saat gajian, sebelum uang sampai ke tangan kita, pajak sudah lebih dulu memotong sebagian.
Secara teori, pajak adalah darah pembangunan. Dari sini, negara membiayai kesehatan, pendidikan, infrastruktur, hingga bantuan sosial. Namun kenyataannya, banyak rakyat yang menjerit: “Hidup serba bayar pajak, tapi hasilnya kemana?”
Ironi terbesar muncul ketika pajak yang seharusnya menjadi hak rakyat justru hilang ditelan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Proyek-proyek besar yang seharusnya membangun jalan, sekolah, atau rumah sakit, sering tersedot sebagian oleh mafia anggaran dan birokrasi. Sementara rakyat tetap membayar pajak penuh, mereka melihat sebagian hasilnya “menghilang” sebelum sampai pada manfaat nyata.
Digitalisasi dan modernisasi pun tidak membuat situasi lebih baik. Pajak digital, pajak hiburan, pajak konsumtif—semua tetap masuk ke kas negara, tapi transparansi penggunaannya sering dipertanyakan. Rakyat membayar untuk layanan publik yang seharusnya murah atau gratis, sementara sebagian dana itu masuk kantong oknum yang serakah.
Yang paling menyayat hati, bahkan ibadah yang seharusnya murni spiritual pun tidak lepas dari praktik KKN. Biaya haji yang tinggi semestinya digunakan untuk memudahkan jamaah: transportasi, akomodasi, fasilitas kesehatan, hingga bimbingan ibadah. Namun kasus-kasus ketidakjelasan anggaran dan mark-up biaya menunjukkan sebagian dana tersedot oleh birokrasi yang korup dan mafia anggaran. Jamaah yang menabung bertahun-tahun akhirnya merasakan pahitnya ketidakadilan. Ibadah yang seharusnya menjadi momen spiritual yang suci, tercampur persoalan duniawi yang merusak.
Situasi ini menimbulkan frustrasi mendalam. Rasanya seperti “dijebak”: rakyat dipaksa membayar pajak tinggi, dari makan, hiburan, liburan, gajian, hingga haji, sementara mereka yang berkuasa menikmati hasilnya secara pribadi. Ini bukan hanya soal angka, tapi soal keadilan dan kepercayaan publik terhadap sistem.
Solusinya jelas, tapi membutuhkan keberanian: pengawasan ketat terhadap penggunaan pajak, transparansi anggaran secara nyata, dan pemberantasan KKN hingga akar-akarnya. Pajak harus kembali menjadi alat pembangunan yang adil, bukan sumber keuntungan segelintir orang. Hanya dengan itu, rakyat bisa kembali percaya bahwa jerih payah mereka membayar pajak benar-benar membangun negara, bukan memperkaya mafia dan oknum korup.
Hidup di zaman ini memang serba pajak, dari makan hingga liburan. Tapi pajak yang adil harus menjadi sumber kesejahteraan dan pelayanan nyata, bukan ladang keuntungan bagi KKN dan mafia. Jika hal ini tidak diperbaiki, keluhan rakyat bukan sekadar soal bayar pajak, tapi soal keadilan dan hak untuk hidup serta beribadah dengan tenang.
Oleh : Kang Adi Suryadi
