UMIKA Media – Pernikahan anak usia 15–16 tahun bukan hal baru di masyarakat kita. Banyak orang tua merasa sudah sepatutnya menikahkan anak mereka di usia tersebut, entah karena adat, ekonomi, atau karena dianggap sudah cukup dewasa secara fisik. Namun, seiring dengan berkembangnya pemahaman hukum dan kesehatan anak, praktik ini mulai dipertanyakan. Apalagi jika menyangkut perlindungan anak dan masa depan mereka.
Ketika Adat Berbenturan dengan Hukum
Di beberapa daerah, menikahkan anak gadis yang baru berusia 15–16 tahun dianggap biasa. Dalam budaya tertentu, semakin cepat anak menikah, semakin tinggi pula martabat keluarga. Namun hukum negara punya standar yang jelas.
Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan menyebut usia minimal menikah bagi laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun. Meski pengadilan dapat memberi dispensasi, itu bersifat khusus dan bukan aturan utama. Hal ini bertujuan melindungi anak dari dampak pernikahan dini yang membahayakan kesehatan dan perkembangan mental mereka.[1]
Di sinilah benturan itu terjadi. Antara nilai-nilai adat yang masih kuat dengan perlindungan hukum yang berbasis pada hak anak.
Pandangan Islam: Kesiapan, Bukan Sekadar Usia
Dalam Islam, pernikahan adalah ibadah yang sangat mulia. Namun, syaratnya bukan hanya fisik, tapi juga kesiapan mental dan tanggung jawab.
Dalil utama dalam hal ini adalah QS. An-Nisa [4]:6:
“Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Jika menurutmu mereka telah cukup cerdas, maka serahkanlah harta mereka kepada mereka.”
Menurut tafsir Ibnu Katsir, ayat ini menunjukkan pentingnya kecerdasan dan kematangan sebelum anak diberikan tanggung jawab. Maka, bukan hanya soal umur biologis, tetapi kemampuan berpikir dan bertanggung jawab.[2]
Sebabun nuzul ayat ini berkaitan dengan pengelolaan harta anak yatim. Namun ulama sepakat bahwa prinsip kesiapan ini juga berlaku dalam pernikahan.
Ayat lain yang sering dikaitkan adalah QS. At-Talaq [65]:4, yang menyebutkan perempuan yang belum haid. Namun ayat ini bukan dalil membolehkan menikah di bawah umur, melainkan penjelasan iddah—masa tunggu setelah cerai atau ditinggal wafat suami. Ulama besar seperti Syaikh Al-Albani dan Ibnu Utsaimin menegaskan, pernikahan anak-anak yang belum akil baligh bukanlah praktik utama dalam Islam, dan hanya terjadi di kondisi luar biasa.
Dampak Pernikahan Anak Sangat Nyata
Banyak studi menunjukkan bahwa pernikahan anak, terutama di usia 15–16 tahun, membawa konsekuensi besar:
-
Kesehatan reproduksi terganggu. Anak perempuan lebih rentan mengalami komplikasi kehamilan dan persalinan.[3]
-
Putus sekolah. Anak yang menikah cenderung berhenti belajar dan sulit kembali ke bangku pendidikan.
-
Kekerasan dalam rumah tangga. Anak-anak belum siap menghadapi konflik rumah tangga dan bisa menjadi korban kekerasan.[4]
-
Ketergantungan ekonomi. Belum cukup umur untuk bekerja atau memiliki penghasilan mandiri, mereka sangat bergantung pada pasangan atau orang tua.
Solusi: Edukasi, Pendampingan, dan Perlindungan
Islam sangat peduli terhadap perlindungan anak. Prinsip la dharar wa la dhirar (jangan saling menyakiti) menjadi dasar kuat bahwa setiap keputusan orang tua harus mempertimbangkan kemaslahatan anak. Maka solusinya tidak sekadar melarang, tapi juga:
-
Edukasi kepada orang tua tentang risiko pernikahan dini
-
Membangun komunikasi antara generasi muda dan tokoh agama/adat
-
Meningkatkan peran negara melalui perlindungan hukum yang tegas
-
Memberikan pendampingan psikologis dan pendidikan lanjutan bagi anak yang telah menikah dini akibat kondisi darurat
Kesimpulan
Pernikahan anak 15–16 tahun memang menjadi dilema. Di satu sisi, ada adat dan budaya yang mendorong. Di sisi lain, hukum negara dan ajaran Islam menekankan pentingnya kesiapan dan perlindungan anak. Dalil dari Al-Qur’an seperti QS. An-Nisa:6 menunjukkan bahwa Islam tidak menyarankan pernikahan jika anak belum matang secara mental dan tanggung jawab. Maka, bijaklah sebagai orang tua. Pernikahan bukan sekadar menyatukan dua anak, tapi dua kehidupan yang perlu masa depan.
mau konsultasi dengan ustad Khaerul Mu’min di sini
Catatan Kaki :
[1] KemenPPPA. (2020). Laporan Pencegahan Perkawinan Anak. Jakarta: KemenPPPA
[2] Ibnu Katsir, 2000, Tafsir Ibnu Katsir, Beirut: Dar al-Fikr, hal. 123
[3] WHO. (2021). Child Marriage and Health Risks. Geneva: World Health Organization.
[4] UNICEF. (2020). Ending Child Marriage: Progress and Prospects. New York: UNICEF.
