Wanita Mandiri vs Laki-laki Mokondo: Potret Keluarga yang Tercerai-berai oleh Sistem Sekuler

UMIKA.ID, Buletin,– Bayangkan seorang ibu muda yang setiap pagi harus bergegas menyiapkan anak-anak, memasak, lalu berangkat kerja dengan tergesa. Di malam hari, ia masih harus menyuapi anak, menemani belajar, meredam tangis, dan menenangkan dirinya sendiri dari lelah yang menumpuk. Suaminya? Duduk diam, pasrah, dan kehilangan arah.

Atau seorang perempuan mandiri, cerdas, berpenghasilan, memilih menjadi single mom karena lelah berharap pada pasangan yang tak kunjung dewasa. Hidup sendiri terasa lebih damai, walau sesekali ia menahan sepi.

Kisah ini bukan fiksi. Ini realita. Masyarakat hari ini menyaksikan fenomena perempuan kuat tapi kelelahan, dan laki-laki lemah yang kehilangan peran. Dua kutub yang seharusnya saling menguatkan, kini saling menjauh.

Apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa peran bisa tertukar dan tumpang tindih? Jawabannya tak cukup dijawab dengan nasihat relasi atau psikologi rumah tangga biasa. Sistem kehidupan yang rusak adalah akar dari semuanya.

 

Fenomena Terbalik: Ketika Fitrah Terganggu

Saat ini, “wanita mandiri” dijadikan simbol keberhasilan. Ia bisa bekerja, membeli apa saja, membuat keputusan sendiri. Bahkan banyak yang memilih menjadi orang tua tunggal dengan penuh percaya diri.

Namun, di sisi lain, bermunculan “laki-laki mokondo”—istilah untuk pria yang pasif, menggantungkan hidup pada perempuan, dan kehilangan fungsi sebagai pelindung dan pemimpin. Perempuan yang berharap berbagi peran, justru harus menanggung semua sendirian.

Mereka akhirnya memilih berpisah, bukan karena benci, tapi karena tak sanggup hidup bersama sosok yang tidak bisa memimpin.

 

Kapitalisme Sekuler: Biang Kerusakan Peran Gender

Fenomena ini bukan muncul tanpa sebab. Kapitalisme sekuler adalah biang keroknya. Sistem ini mendorong perempuan menjadi “mandiri” bukan untuk kemuliaan, tapi karena tuntutan pasar. Emansipasi dikemas sebagai kebebasan, padahal hanyalah alat industrialisasi tubuh dan tenaga perempuan.

Laki-laki tak lagi dibina menjadi pemimpin dan penanggung jawab, karena liberalisme telah menanamkan paham individualisme, hedonisme, dan hilangnya makna tanggung jawab.

Akibatnya, perempuan tak lagi merasa butuh laki-laki, dan laki-laki tak merasa bertanggung jawab atas perempuan. Rumah tangga pun kehilangan makna. Anak-anak kehilangan figur. Generasi kehilangan arah.

 

Solusi Islam: Mengembalikan Peran Sesuai Fitrah

 

Islam telah menetapkan tatanan peran yang adil dan harmonis. Laki-laki sebagai qawwam, pemimpin dan pelindung:

 

 الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ

“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita…”

(QS. An-Nisa: 34)

Perempuan dimuliakan sebagai ibu, pendidik generasi, dan pengatur rumah tangga. Islam tidak merendahkan perempuan, justru memuliakannya dalam posisi yang penuh kehormatan.

Peran ini bukan bentuk diskriminasi, tapi pembagian amanah yang sesuai dengan fitrah dan keadilan. Ketika dijalankan dengan syariat, rumah tangga akan kokoh. Anak-anak tumbuh dalam cinta, ketegasan, dan nilai iman.

 

Perubahan Tak Bisa Parsial: Butuh Sistem yang Mendukung

Kita tak bisa berharap pada individu berubah total dalam sistem yang terus merusak. Selama sekularisme menjadi dasar kehidupan, peran keluarga akan terus dilemahkan. Maka solusi bukan hanya pada perbaikan relasi suami-istri, tetapi kembali pada sistem Islam yang utuh—yang menjaga peran, memuliakan perempuan, dan membina laki-laki sebagai pemimpin yang bertanggung jawab.

 

Pesan untukmu, Wahai Wanita Mandiri dan Laki-laki Mokondo

Untuk Wanita Mandiri:

Engkau kuat, sabar, dan penuh daya juang. Tapi jangan biarkan sistem ini menipumu bahwa hidup sendiri selalu lebih baik. Islam tidak menuntutmu memikul beban sendirian. Engkau adalah ummun wa robbatul bait—yang seharusnya dicintai, dijaga, dan dipimpin dengan amanah. Perjuanganmu tidak salah, tapi sistem ini yang salah tempatkan dirimu.

 

Untuk Laki-laki Mokondo:

Engkau bukan pengekor. Engkau lahir untuk memimpin. Jangan biarkan sistem ini membunuh rasa tanggung jawab dan harga dirimu. Jadilah qawwam, karena anak-anak menantikan sosok ayah sejati, dan istrimu menantikan pemimpin yang bertakwa.

 

Penutup: Saatnya Kembali pada Islam

Keluarga adalah pilar peradaban. Jika kita ingin membangun umat yang kuat, kita harus mulai dari rumah. Dan rumah tak akan kokoh jika laki-laki dan perempuan tak menjalankan perannya sesuai syariat.

 

Sekularisme merusak. Islam menyelamatkan.

Saatnya kembali kepada aturan Allah. Demi keluarga yang utuh, perempuan yang mulia, laki-laki yang bertanggung jawab, dan generasi masa depan yang tangguh.

More From Author

Program Barak untuk Anak Nakal Efektif, Namun Pendidikan Anak Usia Dini dari Orang Tua Tetap Lebih Penting

Prancis dan Indonesia Serukan Gencatan Senjata dan Solusi Dua Negara untuk Palestina

Background Latar 1 Background Latar 2 Background Latar 3 Background Latar 4

Jadwal Sholat

Memuat jadwal...

Categories

Categories