UMIKA Media – Masih banyak orang tua yang memiliki pola pikir keliru bahwa pondok pesantren adalah tempat “pembuangan” anak nakal. Anak yang susah diatur, melawan orang tua, atau tidak betah di sekolah umum, dianggap cocok untuk dikirim ke asrama. Stigma ini tak hanya menyesatkan, tapi juga mencemari citra lembaga pendidikan Islam yang justru membentuk karakter luhur.
Pondok pesantren pada hakikatnya adalah tempat suci, tempat menempa diri, dan ladang amal untuk para santri. Di balik temboknya, anak-anak belajar agama, membentuk disiplin, dan mengasah akhlak. Menyederhanakan pesantren hanya sebagai “penjara anak nakal” adalah bentuk ketidaktahuan yang harus kita luruskan.
Jika pola pikir ini terus dipelihara, maka tak hanya pesantren yang dirugikan, tetapi juga anak-anak yang sebenarnya berniat mencari ilmu.
Pondok Pesantren Bukan Asrama Hukuman, Tapi Asrama Ilmu
Dalam struktur sosial kita, pesantren seharusnya sejajar dengan sekolah unggulan lain. Namun, karena mindset lama yang belum direvisi, banyak yang masih melihat pondok pesantren sebagai tempat “terpaksa”. Padahal, sejarah mencatat, ulama besar seperti KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan lahir dari pesantren.
Lebih jauh, asrama santri bukanlah tempat untuk memaksa anak disiplin dengan cara kekerasan. Justru di dalamnya tumbuh kemandirian, solidaritas, dan kesabaran. Banyak santri yang awalnya hanya tahu dasar-dasar agama, berkembang menjadi dai, pengusaha, bahkan pemimpin daerah.
Namun, jika sejak awal anak masuk dengan motivasi negatif, seperti karena dihukum atau tidak diinginkan di rumah, maka potensi bullying dan sikap resistensi justru tumbuh. Ini yang menjadi akar munculnya kasus-kasus pembulian di pesantren.
Sebagaimana diungkap oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pembulian di asrama pendidikan bisa dipicu oleh ketimpangan relasi senior-junior serta pola pikir salah dari luar yang terbawa ke dalam lingkungan santri.
Maka, penting untuk merombak pandangan masyarakat: kirim anak ke pesantren karena cinta ilmu, bukan karena sudah tidak bisa dididik di rumah. Mondok itu pilihan bukan pelarian, artikelnya bisa di baca di sini.
Cegah Bullying dengan Pendidikan dan Kesadaran Keluarga
Orang tua memegang peranan besar dalam membentuk persepsi anak terhadap pesantren. Jika anak masuk karena dihukum, maka ia akan merasa rendah diri, marah, atau ingin “balas dendam”. Dari sinilah konflik dan tindakan intimidasi antarsantri berpeluang muncul.
Untuk mencegahnya, orang tua harus mengubah pendekatan mereka. Sebaiknya anak diajak bicara, diberi pengertian tentang kemuliaan mencari ilmu di pondok pesantren. Libatkan anak dalam proses memilih pesantren, bukan sekadar “dibuang” ke asrama.
Menurut Ustaz Adi Hidayat, pendidikan karakter tidak cukup diserahkan ke lembaga pendidikan saja, tetapi harus dimulai dari rumah. “Pesantren bukan tempat reformasi anak bermasalah. Tapi tempat membina anak-anak yang punya semangat mencari ridha Allah,” ujarnya dalam salah satu ceramahnya.[1]
Lebih lanjut, pesantren yang baik pun kini melakukan reformasi internal. Mulai dari pelatihan anti-bullying, kurikulum karakter, hingga pengawasan dari dewan pengasuh. Jadi, ketika niat anak dan sistem pesantren sudah selaras, insyaAllah tercipta lingkungan belajar yang positif.
Mengembalikan Reputasi Pesantren sebagai Pusat Keilmuan
Sudah saatnya masyarakat memulihkan reputasi pondok pesantren sebagai pusat ilmu dan peradaban Islam. Pesantren bukan lembaga yang kalah dari sekolah umum atau internasional. Bahkan, banyak orang sukses justru lahir dari sistem pendidikan yang mendalam di asrama pesantren.
Sejarah mencatat, pada masa penjajahan, pesantren adalah benteng terakhir perlawanan budaya asing. Di sinilah ulama mendidik kader-kader tangguh yang siap berdakwah dan memimpin umat.
Data Kementerian Agama tahun 2023 mencatat, ada lebih dari 39 ribu pesantren di Indonesia dengan 4 juta santri aktif. Angka ini bukanlah angka kecil, tetapi menunjukkan bahwa pesantren punya daya hidup tinggi dan diminati banyak keluarga.[2]
Kutipan dari KH. Mustofa Bisri pun sangat relevan: “Santri bukan cuma belajar agama, tapi belajar menjadi manusia. Dan pesantren adalah rumahnya manusia-manusia yang ingin memperbaiki diri.”[3]
Dengan pembinaan yang tepat, alumnus pesantren dapat menjadi pelopor di tengah masyarakat, bukan hanya dalam hal agama, tapi juga bisnis, teknologi, dan pendidikan. Karena itu, jangan anggap remeh kekuatan pesantren.
Penutup: Saatnya Ubah Pola Pikir tentang Pondok Pesantren
Kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan agar tidak lagi menjadikan pondok pesantren sebagai tempat pelarian untuk anak yang bermasalah. Pesantren adalah tempat suci, tempat pencari ilmu, dan tempat membangun peradaban.
Stigma bahwa pesantren hanya untuk orang nakal harus dihentikan. Jika ingin membangun generasi emas Indonesia, maka kita perlu dukung asrama pesantren dengan motivasi yang benar: karena ilmu adalah cahaya, dan pesantren adalah lentera yang tak boleh padam.
Statistik Tambahan:
-
73% santri mengalami peningkatan kemandirian dan tanggung jawab setelah satu tahun di pesantren (Sumber: Litbang Kemenag, 2022)
-
80% pesantren modern kini mengadopsi kurikulum integratif antara ilmu agama dan sains (Pusat Kurikulum Pesantren Nasional, 2023)[4]
Referensi:
[1] Adi Hidayat. (2021). Karakter Santri dan Masa Depan Islam. Jakarta: AQ Press, hlm. 67.
[2] Kementerian Agama. (2023). Data Pondok Pesantren di Indonesia. Jakarta: Dirjen Pendidikan Islam.
[3] Mustofa Bisri. (2019). Santri dan Dunia Modern. Yogyakarta: LKiS, hlm. 45.
[4] Litbang Kemenag. (2022). Laporan Hasil Survei Perkembangan Santri. Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama.
