UMIKA.ID, Gaza – Krisis kemanusiaan di Jalur Gaza mencapai titik nadir. Lebih dari 60.000 warga Palestina dilaporkan tewas sejak agresi Israel dimulai Oktober 2023, dengan ratusan korban jiwa meninggal akibat kelaparan, termasuk anak-anak dan ibu hamil. Dunia internasional kini mendesak pengakuan resmi terhadap negara Palestina, sebagai solusi damai dua negara yang semakin mendesak.
Famine Terjadi, Anak-anak Jadi Korban
Data terbaru dari IPC (Integrated Food Security Phase Classification) dan World Food Programme menyatakan bahwa famine—kelaparan massal tingkat tertinggi—telah terjadi di Gaza. Sedikitnya 147 orang telah tewas secara langsung karena kelaparan, termasuk 89 anak-anak.
“Ini bukan lagi sekadar krisis pangan. Ini adalah bencana kemanusiaan,” ujar juru bicara World Health Organization (WHO) dalam konferensi di Jenewa, Selasa (29/7). Lembaga tersebut mencatat bahwa sebagian besar rumah sakit di Gaza telah kelumpuhan total, dan distribusi makanan hanya menjangkau kurang dari 10% populasi.
Israel Dituding Lakukan Genosida Terencana
Organisasi hak asasi Israel, B’Tselem, menyebut tindakan militer dan blokade bantuan yang dilakukan oleh Israel sebagai bagian dari genosida sistematis terhadap rakyat Palestina.
“Ini bukan kegagalan logistik. Ini adalah penghancuran yang disengaja terhadap kehidupan warga sipil,” tulis B’Tselem dalam laporan resminya, yang juga mendesak Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk mempercepat investigasi kejahatan perang Israel.
Tragedi Bantuan: 80 Orang Tewas Saat Cari Makanan
Pada Rabu pagi (30/7), serangan udara Israel kembali menewaskan 80 warga Palestina, termasuk 71 di antaranya sedang antre bantuan makanan di Rafah. Peristiwa ini menjadi sorotan global, setelah video kejadian tersebut viral di media sosial, memperlihatkan warga sipil tewas bersimbah darah di antara tenda bantuan.
Dunia Bergerak: Kanada, Inggris, Australia Siap Akui Palestina
Gelombang pengakuan terhadap negara Palestina semakin kuat. Pemerintah Kanada menyatakan akan mengakui Palestina secara resmi pada September 2025, kecuali Israel membuka akses bantuan dan menghentikan kekerasan.
Langkah serupa akan diikuti oleh Inggris, yang memberi batas waktu dua minggu kepada Israel untuk menyetujui gencatan senjata. “Kami tak bisa lagi menunggu. Solusi dua negara adalah satu-satunya jalan,” ujar PM Inggris dalam pernyataan resmi.
Sementara itu, Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, menyatakan bahwa pemerintahannya tengah mempertimbangkan pengakuan sepihak terhadap Palestina, menyusul kecaman masyarakat luas terkait blokade yang memperparah kelaparan.
Konferensi Perdamaian dan Diplomasi Global
Di tengah kekacauan ini, Konferensi New York Peace Summit yang digelar pada 28–29 Juli lalu mendorong pengakuan internasional terhadap Palestina dan pembebasan tahanan serta sandera. 32 negara dari Amerika Latin dan Afrika juga mengadakan Bogotá Summit, yang menghasilkan keputusan untuk:
- Menghentikan ekspor senjata ke Israel.
- Menggugat Israel atas dasar yurisdiksi universal.
- Memulai kampanye diplomatik untuk memaksa gencatan senjata.
Suara Kemanusiaan: “Angkat Dompet, Angkat Suara, Angkat Tangan”
Kang Adi Suryadi, pembina Yayasan UMIKA yang aktif dalam sosial kemanusiaan Palestina, menyampaikan seruan moral:
“Kalau kita tidak bisa angkat senjata, setidaknya kita bisa angkat dompet untuk berdonasi, angkat suara untuk membela, dan angkat tangan untuk berdoa. Jangan sampai kita justru ikut menyuapi penjajah lewat belanja kita.”
Ia menekankan bahwa umat Islam dan masyarakat dunia harus tidak netral dalam kezaliman. Sikap diam, kata Kang Adi, adalah bentuk persetujuan terhadap penjajahan.
Infografis: Situasi Terkini Gaza (per 30 Juli 2025)
| Kategori | Jumlah |
|---|---|
| Warga Tewas | ±60.000 |
| Anak-anak Tewas karena Lapar | 89 |
| Korban Kelaparan Total | 147 |
| Warga Mengungsi | >1,5 juta |
| Bantuan Masuk | <10% dari kebutuhan harian |
| Negara Pendukung Pengakuan Palestina | 38 negara |
Penutup
Situasi di Gaza kini tak lagi bisa diredam dengan wacana. Dunia menanti tindakan nyata. Saat warga sipil terus menjadi korban, pertanyaan mendasar pun mengemuka: sampai kapan dunia akan menutup mata terhadap genosida yang terjadi di depan mata?
