Remaja Muslim ikut meramaikan tren garis merah simbol zina di media sosial. Di mana rasa malu sebagai bagian dari iman?
UMIKA.ID, Karawang,— Tren viral yang disebut “S-Line” kini tengah menjadi perhatian di berbagai platform media sosial, khususnya TikTok. Tren ini bukan merujuk pada bentuk tubuh ideal seperti dalam dunia K-pop, melainkan pada simbol garis merah yang muncul di atas kepala seseorang, sebagai penanda jumlah hubungan seksual di luar nikah yang pernah dilakukan.
Satu garis berarti sekali berzina. Dua garis berarti dua kali. Tiga garis… dan seterusnya.
Yang membuat miris, tren ini dijadikan lelucon, bahkan ajang pamer di kalangan remaja, termasuk dari mereka yang berasal dari kalangan Muslim. Banyak di antaranya membuat konten serupa, menampilkan efek garis merah di atas kepala sembari tersenyum, tertawa, dan memamerkannya secara terbuka kepada publik.
Hilangnya Rasa Malu, Hancurnya Iman
Fenomena ini menimbulkan keprihatinan mendalam di tengah masyarakat, khususnya umat Islam. Betapa tidak, tren tersebut tidak hanya membuka aib pribadi, tapi juga menunjukkan bagaimana rasa malu—penjaga terakhir iman—telah runtuh di tengah umat.
Padahal, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Malu itu bagian dari iman.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadis lain, Nabi ﷺ bersabda:
“Jika kamu tidak punya rasa malu, maka lakukanlah sesukamu.”
(HR. Bukhari)
Hadis ini bukanlah izin untuk berbuat bebas, tetapi peringatan keras bahwa ketika rasa malu telah hilang, manusia akan terjerumus pada berbagai bentuk kemaksiatan tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Dosa Jadi Tren, Aib Jadi Konten
Sejumlah pengguna media sosial bahkan menunjukkan kebanggaan tersendiri ketika memamerkan jumlah “garis merah” mereka. Entah dilakukan atas dasar pengalaman nyata atau sekadar mengikuti tren, tindakan ini telah menjadikan perbuatan zina sebagai hiburan digital.
Sebuah video lama di media sosial memperlihatkan sekelompok gadis muda yang dengan santai dan tertawa ringan mengakui telah melakukan hubungan di luar nikah. Tak tampak penyesalan, hanya ekspresi kebanggaan.
Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya menulis:
“Malu adalah akhlak yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan buruk dan mencegahnya dari meremehkan hak orang lain.”
Namun kini, justru yang terjadi sebaliknya. Perbuatan buruk malah dirayakan. Aib dibanggakan, dan dosa ditampilkan di layar gawai jutaan orang tanpa sedikit pun rasa berdosa.
Lingkungan dan Sistem yang Membentuk
Para pengamat moral dan aktivis dakwah menilai bahwa fenomena ini bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga buah dari sistem kehidupan sekuler-liberal yang telah mengakar di masyarakat.
Dalam sistem ini, agama tidak lagi menjadi acuan hidup. Pendidikan agama hanya sekadar formalitas, media disesaki tayangan liberal, sementara negara terlihat pasif terhadap konten yang merusak moral generasi muda.
Budaya luar seperti K-pop, film barat, hingga drama Korea menjadi panutan baru, tanpa ada filter nilai yang jelas. Bahkan seringkali dijadikan tolok ukur popularitas dan kecantikan, sehingga anak muda Muslim lebih banyak mengenal selebriti luar daripada mengenal Nabi dan para sahabat.
Zina Tidak Lagi Menakutkan
Yang lebih mengkhawatirkan, zina kini tidak lagi dianggap sebagai dosa besar. Dalam Islam, zina adalah perbuatan yang sangat tercela dan membawa dampak buruk bagi pelaku dan masyarakat.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَىٰ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
(QS. Al-Isra: 32)
Namun kini, zina tidak hanya didekati, bahkan dipertontonkan dan dirayakan. Tren S-Line menjadi contoh nyata bahwa banyak dari generasi muda tidak lagi menganggap zina sebagai pelanggaran syariat, melainkan sebagai bagian dari ekspresi diri.
Solusi Jangka Pendek: Pembinaan Remaja
Para ulama dan pendakwah menegaskan bahwa solusi pertama adalah membina generasi muda secara spiritual dan intelektual. Mereka butuh lingkungan yang sehat, forum kajian yang menyentuh hati, serta teladan dari orang tua dan masyarakat.
Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”
(QS. At-Tahrim: 6)
Pembinaan tidak cukup hanya dengan berkata “haram” dan “jangan.” Tapi harus disertai pendekatan kasih sayang, pendidikan iman, dan ruang ekspresi yang Islami.
Solusi Jangka Panjang: Tegaknya Sistem Islam Kaffah
Lebih dari itu, dibutuhkan perubahan sistemik dan menyeluruh.
Sistem Islam tidak hanya mengatur ibadah individu, tetapi juga menciptakan lingkungan sosial, hukum, pendidikan, dan media yang sehat dan berpihak pada kemuliaan manusia.
Dalam sistem Islam, konten-konten yang merusak seperti tren S-Line tidak akan tumbuh subur, karena sejak awal sudah diantisipasi dengan pendidikan akidah, pengawasan media, dan penerapan hukum syar’i terhadap perbuatan zina.
Imam Al-Ghazali rahimahullah berkata:
“Rusaknya rakyat karena rusaknya para pemimpinnya, dan rusaknya pemimpin karena rusaknya para ulama. Dan rusaknya ulama karena cinta dunia dan harta.”
Penutup: Jaga Rasa Malu, Jaga Iman
Fenomena tren S-Line harus menjadi alarm keras bagi umat Islam. Bahwa kita sedang menghadapi bukan hanya krisis moral, tetapi juga krisis keimanan.
Rasa malu adalah benteng terakhir iman. Ketika rasa malu hilang, maka dosa akan tampak biasa, dan kehancuran masyarakat tinggal menunggu waktu.
Mari kita jaga generasi ini dengan iman, ilmu, dan cinta.
Mari kita kembalikan kehormatan umat dengan menutup aib, bukan memamerkannya.
Dan mari kita perjuangkan tegaknya Islam secara kaffah, agar generasi mendatang tak lagi menjadikan dosa sebagai bahan bercanda.
