Ketika Suami Sukses, Istri Tersisih: Cerai Tanpa Alasan Syari Cederai Nilai Sosial dan Emosional

Oleh: Redaksi UMIKA Media
Program Ngobras Ahad Pagi bersama Kang Adi Suryadi & Ustadz Khaerul Mu’min, M.Pd

NEWS.UMIKA.ID, Buletin,- Kasus perceraian yang terjadi di Aceh baru-baru ini kembali menyita perhatian publik. Seorang istri diceraikan oleh suaminya sesaat setelah sang suami dinyatakan lulus sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Kabar ini menimbulkan gelombang keprihatinan di masyarakat—bukan hanya karena kisah pilu sang istri, tapi juga karena alasan perceraian yang dianggap tidak syar’i dan mencederai nilai sosial serta emosional dalam pernikahan.

Fenomena inilah yang kemudian diangkat dalam Ngobras Ahad Pagi bersama Kang Adi Suryadi dengan menghadirkan Ustadz Khaerul Mu’min, M.Pd sebagai narasumber. Tema kali ini:

“Ketika Kesuksesan Menguji Keimanan: Cerai Tanpa Alasan Syari.”

Mencederai Nilai Sosial dan Makna Rumah Tangga

Dalam penjelasannya, Ustadz Khaerul Mu’min, M.Pd menegaskan bahwa perceraian adalah perkara halal yang paling dibenci Allah.

Rasulullah ﷺ bersabda:

أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللهِ الطَّلَاقُ

“Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian.”
(HR. Abu Dawud, no. 2177)

Menurut beliau, jika perceraian dilakukan tanpa alasan yang jelas secara syar’i—misalnya karena ego, gengsi, atau ingin bebas setelah sukses—maka itu adalah bentuk kezaliman terhadap pasangan dan pengkhianatan terhadap ikatan suci pernikahan.

“Pernikahan itu bukan untuk sekadar status sosial. Ia adalah ibadah yang mengandung tanggung jawab dan amanah. Saat suami sukses lalu menceraikan istri tanpa alasan syar’i, berarti dia menukar nikmat dengan dosa sosial,” ujar Ustadz Khaerul.

Beliau juga menambahkan, perceraian seperti ini mencederai martabat keluarga, karena masyarakat akan menilai bahwa keberhasilan seseorang tidak lagi mencerminkan kematangan moral dan emosional.

Ketika Kepercayaan Istri Runtuh, Cinta Tak Lagi Utuh

Kang Adi Suryadi sebagai host menyoroti sisi psikologis yang muncul dari fenomena ini. Ia mengungkap bahwa banyak istri akhirnya kehilangan kepercayaan pada suami saat melihat kasus semacam ini.

“Bisa jadi nanti muncul ketakutan baru di kalangan perempuan. Bukan bahagia saat suaminya berhasil, tapi malah takut kalau kesuksesan itu justru berujung pada perceraian,” ujar Kang Adi.

Ustadz Khaerul pun menimpali, “Itulah tanda bahwa emosi dan iman tidak berjalan seimbang. Keberhasilan duniawi harusnya semakin mendekatkan seseorang kepada Allah, bukan menjauhkan dari amanah rumah tangga.”

Keberhasilan Akademis Tanpa Kematangan Emosional

Dari sisi sosial dan akademis, Ustadz Khaerul Mu’min menekankan bahwa tingkat pendidikan atau karier tinggi tidak otomatis menjamin kematangan emosional.
“Banyak orang pandai dalam teori, tapi gagal dalam mengelola ego. Banyak yang sukses dalam karier, tapi hancur dalam rumah tangga,” ujarnya.

Ia mengutip firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang.”
(QS. Ar-Rum: 21)

“Kalau tujuan pernikahan adalah sakinah, maka segala keputusan harus lahir dari kasih dan rahmat. Bukan dari amarah atau keinginan sesaat,” tegasnya.

Pelajaran Sosial: Kematangan Emosi dan Iman adalah Kunci

Dari perbincangan hangat ini, Kang Adi dan Ustadz Khaerul sepakat bahwa pelajaran besar dari kasus ini adalah pentingnya kematangan emosional dan spiritual dalam rumah tangga.

Ustadz Khaerul berpesan,

“Ketika seseorang diberi keberhasilan, Allah sedang mengujinya. Bukan sekadar diuji lewat harta, tapi lewat bagaimana ia memperlakukan orang terdekatnya. Kalau suami tak bisa bersyukur lewat kesetiaan, berarti ilmunya belum benar-benar berbuah hikmah.”

Ia juga mengingatkan agar para pasangan muda jangan mudah terpengaruh oleh lingkungan yang menganggap perceraian hal biasa.
“Kalau masalah muncul, jangan buru-buru menyerah. Islam memberi jalan islah, bukan langsung talak,” katanya.

Pesan Penutup dari Kang Adi Suryadi

Menutup obrolan, Kang Adi menyampaikan refleksi sederhana namun dalam:

“Rumah tangga itu bukan lomba siapa paling berhasil, tapi siapa paling kuat bertahan dalam kesetiaan.
Kadang, kesuksesan diuji bukan dengan harta, tapi dengan hati. Maka, kalau hatimu masih sabar dan takut menyakiti pasanganmu, berarti Allah masih menjagamu.”

Perceraian boleh jadi solusi terakhir, tapi jangan dijadikan pelarian dari masalah yang bisa diselesaikan dengan komunikasi, sabar, dan doa.
Karena dalam Islam, yang sejati bukan yang mudah berjanji, tapi yang tetap setia meski diuji.

Kesimpulan

Kasus perceraian tanpa alasan syar’i di Aceh menjadi cermin sosial dan moral bagi umat. Keberhasilan duniawi tanpa kedewasaan emosional akan menimbulkan perpecahan. Islam mengajarkan keseimbangan antara ilmu, iman, dan akhlak dalam membina keluarga.
Semoga setiap pasangan belajar bahwa rumah tangga bukan sekadar ikatan cinta, tapi juga amanah dari Allah yang harus dijaga dengan kesabaran dan kasih sayang.

More From Author

Bani Israil: Umat Pilihan Dulu, Bukan Israel Sekarang

Dokumentasi keluarga/Reuters

Dokumenter Al Jazeera Ungkap Bukti Baru Pembunuhan Keluarga Hind Rajab di Gaza

Background Latar 1 Background Latar 2 Background Latar 3 Background Latar 4

Jadwal Sholat

Memuat jadwal...

Categories

Categories