UMIKA.ID, GAZA CITY – Pemerintah Israel melalui kabinet keamanan nasionalnya secara resmi menyetujui rencana Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk mengambil alih kendali penuh atas Gaza, khususnya wilayah Kota Gaza (Gaza City). Langkah ini menjadi babak baru dalam konflik panjang Israel-Palestina dan langsung memicu kecaman luas dari dunia internasional.
Keputusan tersebut diumumkan setelah pertemuan kabinet pada Rabu malam (7/8), dengan Netanyahu menyatakan bahwa rencana ini merupakan bagian dari upaya militer untuk “menghancurkan infrastruktur terorisme Hamas” di wilayah tersebut. Dalam keterangan resminya, kantor Perdana Menteri Israel menyebutkan bahwa pasukan militer (IDF) telah disiagakan untuk melaksanakan operasi dan membuka koridor evakuasi bagi warga sipil.
“Kabinet Keamanan menyetujui rencana operasional IDF untuk mengendalikan Gaza City dan membuka jalur kemanusiaan,” tulis pernyataan resmi dari kantor PM Netanyahu, dikutip dari Reuters.
Namun, pernyataan Netanyahu sebelumnya mengisyaratkan ambisi yang lebih besar: mengambil kendali militer atas seluruh Jalur Gaza. Ia bahkan menyebut Israel tidak berniat menguasai Gaza secara permanen, melainkan akan menyerahkan pengelolaan wilayah itu kepada “otoritas Arab yang bersahabat” setelah operasi militer rampung.
Kecaman Dunia Internasional
Langkah Israel ini langsung menuai kecaman dari berbagai kalangan. Komisioner Tinggi HAM PBB, Volker Türk, mengutuk rencana tersebut dan menyebutnya sebagai “pelanggaran serius terhadap hukum internasional.” Ia juga memperingatkan bahwa aksi ini akan memperburuk krisis kemanusiaan dan menghilangkan harapan terhadap solusi dua negara.
“Rencana Israel untuk mengambil alih Gaza secara militer harus dihentikan segera. Ini adalah jalan menuju bencana,” tegas Türk dalam pernyataan tertulis yang dirilis Kamis pagi.
Negara-negara Barat pun ikut mengecam. Pemerintah Inggris melalui pemimpin oposisi Keir Starmer menyatakan bahwa “langkah ini kontraproduktif dan hanya akan memperpanjang penderitaan rakyat Palestina”. Di Australia, beberapa tokoh politik bahkan memperingatkan bahwa hubungan intelijen dan militer dengan Israel bisa terancam jika rencana ini terus berlanjut.
Kritik dari Dalam Negeri Israel
Kebijakan ini juga mengundang perdebatan panas di dalam negeri Israel. Pemimpin oposisi, Yair Lapid, menyebut keputusan Netanyahu sebagai “bencana politik generasi” yang berisiko memperpanjang konflik dan meningkatkan jumlah korban, termasuk para sandera yang masih ditahan oleh Hamas.
Sementara itu, sejumlah analis militer menilai bahwa operasi militer skala besar ini akan sangat kompleks dan berisiko tinggi, apalagi jika dilakukan tanpa adanya strategi politik pasca-pendudukan.
Kondisi Kemanusiaan Gaza Memburuk
Seiring dengan meningkatnya ketegangan, kondisi kemanusiaan di Gaza terus memburuk. Laporan dari organisasi kemanusiaan menyebutkan bahwa lebih dari 1,7 juta warga Palestina kini hidup mengungsi, kekurangan pangan, air bersih, dan obat-obatan. Bantuan internasional pun sulit masuk akibat blokade dan serangan udara yang terus berlangsung.
“Gaza bukan hanya zona perang, tapi telah menjadi kuburan hidup bagi warganya,” ungkap relawan medis dari Bulan Sabit Merah Palestina dalam laporan The Guardian.
Penolakan Luas di Media dan Opini Publik
Hashtag #FreeGaza dan #StopOccupation kembali ramai di media sosial, menandai penolakan luas dari komunitas global. Ribuan warga turun ke jalan di berbagai ibu kota dunia, termasuk London, Paris, dan Jakarta, dalam aksi solidaritas untuk Palestina.
Kesimpulan
Langkah Israel untuk mengambil alih penuh wilayah Gaza menjadi titik kritis dalam konflik berkepanjangan di Timur Tengah. Meski Netanyahu menyebut ini sebagai langkah strategis melawan terorisme, banyak pihak melihatnya sebagai bentuk kolonialisasi dan pelanggaran hak asasi manusia yang harus dihentikan.
Dunia kini menanti sikap tegas dari lembaga-lembaga internasional—termasuk PBB, OKI, dan negara-negara berpengaruh—untuk mencegah bencana kemanusiaan yang lebih besar di Gaza.
Sumber Referensi:
